Rabu, 18 Juli 2012

Autobiografi Laksamana Cheng Thos

Sebuah Autobiografi yang Ditulis untuk Tugas Mata Kuliah KSPK

Seorang sahabat bernama FERONDA MODEST (FERO)

               Malam yang biasa di bulan Maret, kala musim penghujan saat datangnya rinai air menyentuh tanah yang telah diguyur seharian. Masih basah, saat itu pun semuanya masih basah. Udara yang terbawa angin terhembus dari tanah menguarkan aroma petrichor yang dalam, bangkitkan kenangan akan kehidupan yang  telah disimpan otak sebagai memori. Hari itu hari Kamis. Seorang anak manusia yang telah digariskan dengan jutaan nikmat oleh Tuhan akan menyentuh udara, udara dunia persinggahan untuknya menuai kebahagiaan bagi diri maupun manusia di sekitarnya.

                Menangis karena tersedak. Baginya sejenak bernafas didunia yang sekarang memaksanya untuk menangis, dalam helaan nafasnya yang pertama kali. Sekian lama dibuai dan dikasihi dalam rahim ia tersentak. Tersadar sekarang didunia barunya ia harus berjuang untuk dapat hidup. Bahkan hanya untuk bernafas ia harus menangis.

                Bayi yang tampan, bayi yang penuh energi dan bayi yang aktif. Benar sekali, Anak itu ialah saya.  Sejak saat itu saya terlahir sebagai anak laki-laki bernama Modest. Dulu saya sering bertanya mengapa nama saya demikian unik bahkan untuk seorang laki-laki yang lahir di Palembang nama saya tidak sedikitpun mencerminkan daerah kelahiran saya.

             Ayah saya pernah menjelaskan pada saya. “Karena seorang manusia terlahir dengan potensinya sendiri jadi kita tidak perlu mencap seorang manusia hanya karena ia dilahirkan dimana, daerah mana, asal mana. Begitupun dengan nama jadilah seorang  Modest. Kembangkan semua Potensi yang ada di  Modest tanpa atribut bawaan apapun engkau lahir dimana. Orang apa. Karena itu engkau berbeda dan bukankah seorang manusia diciptakan dengan perbedaannya”. Setelah ayah saya menjelaskan demikian saya pun masih belum mengerti, karena saya dulu masih teramat muda untuk memahami sebuah esensi dalam kehidupan. Namun setelah kian dewasa saya akhirnya mengerti bahwa setiap perkataan ayah saya mengandung arti yang teramat sangat dalam. “Kamu tahu mengapa nama belakang kamu Modest . . .” Ayah saya pernah bertanya pada saya. Saya tahu bahwa Modest merupakan diksi dalam sastra inggris yang biasa digunakan untuk merepresentasikan sebuah kerendah hatian, Kesopanan, Kejujuran. Yang saya tidak tahu adalah penjelasan selanjutnya dari ayah saya yang mengatakan. “Tahukah engkau semua sifat diatas adalah semua sifat yang pasti dimiliki oleh orang-orang besar yang hebat, orang besar yang dapat menjadi contoh bagi orang disekitarnya, rahmat bagi mereka yang mencintainya. Dan sekarang engkau sudah mengerti mengapa kau masih harus menggali potensi yang luar biasa dalam hidupmu”.
Saya pun terdiam merenung berpikir begitu dalam. Sungguh saya pun sangat bangga dilahirkan sebagai seorang  Modest.

Masa kanak-kanak saya lewati dengan penuh kebahagiaan, sama seperti anak-anak yang lain. Ayah saya tidak pernah membedakan saya dengan yang lain, agar saya dapat mengerti akan arti rendah hati, kebersamaan, dan tenggang rasa. Saya diberikan sebuah arti dari kebebasan. “Kamu dapat melakukan apapun yang kamu mau. Asalkan kamu tahu batasannya”. Kalimat khas ayah saya. Dari itu saya dapat mengekspresikan kemauan saya, antusiasme saya pada sesuatu. Ibu yang mengajarkan ketika saya terlalu jauh dan melanggar batasan-batasan saya.
Tidak dengan amarah, tapi dengan kasih. “Sayang . . . Sebenernya orang marah itu maunya apa sih. . . Maunya kan biar yang dimarahin nggak ngelakuin lagi kan kesalahannya. . . Jadi ndak ada bedanya dong sama mama marahin kamu dengan cara yang lain. Disayang dan dinasehatipun sudah cukup koq. Kamu kan anak kesayangan mama yang pinter . . . Jadi mama nggak perlu sampai marah sama kamu. Ia kan sayang” Kalimat favorit mama. Yang membuat saya menjadi sensitive terhadap lingkungan luar. Yang membuat saya peka terhadap perasaan orang lain. Karena saya dididik dengan kasih oleh kedua orang tua saya.
Tidak berubah samapai sekarang saya dewasa. Masih tetap sama seperti kedua orang tua saya mengajarkan saya yang dulu masih sering nakal. Dalam kehidupan saya sering dianggap sebagai pembawa suasana bagi orang-orang disekitar saya. Meramaikan moment, memecah keheningan dan kebuntuan dalam sebuah forum. Mungkin Bakat karena saya diberikan kebebasan dari masih saya kecil.  Saya tidak terlalu mementingkan image atau topeng yang dibuat untuk mengangkat harga dari sebuah diri meskipun masing dari kita pasti memiliki topeng. Orang dihargai dari karya dan apa yang telah ia lakukan untuk sesamanya bukan daritopeng yang dipertontonkan setiap saat ketika kita berada dalam lingkungan masyarakat.
 Saya selalu menjadi apa adanya. Apa yang saya ingin lakukan saya lakukan. Apapun yang membuat saya bahagia dan orang lain bahagia sayapun lakukan meskipun saya sering menjadi bahan tertawaan dari itu.                 Tapi saya bahagia. Dan semua teman saya bahagia, dari itu mereka sangat menghormati saya. Dan sangat senang berteman dengan saya. Bukan karena image manusia sempurna yang selalu saya pertontonkan di depan umum.

Tapi karena kesederhanaan saya menjadi bagian kebahagiaan dari orang-orang disekitar saya. “Kita tidak bisa memenangkan semua hati. Jadi cukup menangkan hati kita sendiri dan orang-orang yang ingin berbahagia bersama kita” Kalimat favorit saya. 

Karena dari setiap yang kita lakukan selalu saja ada manusia yang lain, yang tidak suka dengan apa yang kita lakukan. Lantas mengapa kita harus mengorbankan kebahagiaan kita sendiri dan orang yang ingin berbahagia bersama kita hanya untuk menyenangkan yang lain.

Kita tidak bisa memenangkan semua hati.” 

Kebahagiaan merupakan hal paling mendasar dalam prinsip hidup saya. Sebisa mungkin saya menjaga agar perasaan saya tetap bahagia. Apapun yang saya lakukan yang saya harapkan yang saya perjuangkan. Semua saya dedikasikan untuk kebahagiaan saya, orang-orang yang saya sayangi, dan juga mereka yang ada disekitar saya.

Apapun yang saya lakukan yang saya harapkan yang saya perjuangkan. Semua saya dedikasikan untuk kebahagiaan saya, orang-orang yang saya sayangi, dan juga mereka yang ada disekitar saya..

Alasanku untuk tetap tertawa

 
Laksamana Cheng Tos, seorang sahabat yang pernah menyelamatkanku dari kematian. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar