OST GIE : CAHAYA BULAN
Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
Cahaya kota kelam mesra menyambut sang petang
Di sini ku berdiskusi dengan alam yang lirih
Kenapa matahari terbit menghangatkan bumi?
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Aku orang malam yang membicarakan terang
Aku orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang
Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
Cahaya nyali besar mencuat runtuhkan bahaya
Di sini ku berdiskusi dengan alam yang lirih
Kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi?
Aku orang malam yang membicarakan terang
Aku orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang
Cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah ku tau, dimana jawaban itu?
Bagai letusan berapi bangunkan dari mimpi
Sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati
Terangi dengan cinta di gelapku
Ketakutan melumpuhkanku
Terangi dengan cinta di sesatku
Di mana jawaban itu?
VERSI PUISI
Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih sambut dahulu,
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih
Lembah bandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudepak, kau dekaplah lebih mesra
Lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar dekap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
Cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan
Yg takkan pernah aku tahu dimana jawaban itu
Bagai letusan berapi bangunkan dari mimpi
Sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati
Rasanya merinding ketika mendengarkan lagu ini saat menikmati malam di kebun teh, Puncak, Bogor.
Merinding ketika mendengar lirik "cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan"
Ya, memang. Saat itu saya datang ke puncak pada pukul 11 malam. Berangkat sendirian dari kost, mengendarai motor tercinta. Tanpa perencanaan, tanpa persiapan.
Sengaja memang, mencari bulan purnama agar pertanyaanku semakin jelas.
Entah, begitu banyak suara-suara di otak yang mengajakku kesana.
Indah, dingin, sepi, sendiri.
hanya mobil-mobil dan motor-motor yang ditinggalkan pengendaranya dan penumpangnya untuk saling menghangatkan tubuh di belakang tangga pembatas sembari menikmati gemerlap kota yang nampak dari jauh.
Hingga akhirnya, banyak pertanyaan muncul, hati pun menjadi gelisah.
Kupesan secangkir kopi di pedagang yang berjualan disitu.
Harum, Hangat, Menusuk Otak, Menimbulkan Kondisi Alpha.
Seakan ada dua, otakku menemukan filosofi-filosofi yang menjawab semua pertanyaanku. . .
"Nikmati saja saat ini, tak usah memikirkan hal-hal yang tak perlu dipikirkan", kata otakku. . .
"Disini indah, lantas mengapa kau harus gundah?", sahut otakku yang satunya.
dan hatiku menemukan kesimpulan bahwa :
"Aku masih muda, bernyali, dan masih belajar untuk menjadi manusia yang bagaimana nantinya. . .
Nikmati saja masa muda ini. Temukan setiap pertanyaan, temukan jawabannya dengan kebijaksanaan.
Kebijaksanaan yang ku temukan saat aku menikmati saat-saat seperti ini. . . ."
Rasanya bangga ketika saya berhasil tiba di pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Setelah 12 jam mengendarai motor tercinta, melepaskan diri dari hiruk pikuk ibukota, saya tiba di sebuah kilauan alat pengangkat dan alat pengangkut yang mengapung. . .
Kunetralkan posisi gigi dengan menekan kopling di tangan kiri, dan menjejakkan kaki kiri setengah dalam pada perseneling gigi 2.
Kubiarkan motor ini berhenti sendiri, membiarkan dia sendiri yang menentukan tempat terbaik untuk menikmati malam dingin di ibukota Jawa Tengah ini. . .
Kejadian seperti di kebun teh pun terulang.
Di atas sebuah jembatan, motorku berhenti,
Setelah menerjang hutan-hutan yang menjadi suram,
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin,
Aku kembali berdiskusi dengan alam yang lirih,
berbicara dengan rembulan.
Bertanya kepadanya,
"mengapa kau mendekat?"
memang indah ketika kau dekat, indah bagi yang merasakan kedamaian hati
namun, kau menusuk, menusuk hati manusia,
hati yang gelisah, gundah, dan tak tahu arah
seperti pekerja di pelabuhan ini,
saat kau dekat, kau buat mereka menyingsingkan celana, kau tahu?
hati mereka gelisah, kau tahu?
atas beban kehidupan yang mereka tanggung
beban yang lebih berat, sangat berat, dibandingkan beban yang mereka panggul di bahu mereka setiap hari. . . . .
Kusentuh mesin dengan kaki telanjang, kutemukan kehangatan. . .
Memanjakan, sungguh memanjakan. . .
Kupejamkan mata, dan kurasakan hembusan angin, angin darat. . .
Sesaat mataku terpejam, kutemukan jawaban.
Jawaban dari pertanyaan yang takkan pernah ku tahu jawabannya jika aku hanya diam disini. . .
Sudah waktunya bergegas.
Kujejakkan kaki kananku pada pengayuh.
Lampu pun menyorot.
Ku menggenggamkan tangan kanan, dan kuputar ke arah bawah. . .
aku tersenyum. . .
aku berhasil menemukan jawaban itu.....